Seni Sastra sebagai Media Islamisasi di
Indonesia
Islamisasi merupakan salah satu tema penting
dalam kajian sejarah Islam di Nusantara. Para sejarawan masih terus
memperdebatkan mengenai kapan, dari mana, di mana, dan oleh siapa Islam pertama
kali masuk di kawasan tersebut. Sebagian sejarawan berpendapat bahwa Islam
telah masuk di Nusantara semenjak abad VII M dan VIII M, sedangkan sebagian
lainnya menyatakan bahwa Islam mulai masuk di kawasan ini semenjak abad XIII M
hal ini tercantum dalam buku Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam
di Indonesia adapaun bagaimana proses Islamisasi beserta metode-metodenya
banyak sekali dijelaskan dalam buku-buku sejarah Nusantara.
Proses Islamisasi di Indonesia banyak melalui
berbagai pendekatan diantaranya yang paling banyak di gandrungi oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya ialah melalui kesenian khususnya seni sastra baik sastra
lisan maupun tulisan. Mengutip dari sebuah buku “Tidak ada satu negara besar
pun, yang rakyatnya bukan penggandrung sastra.” –Sanghyang M. Pancaniti penulis
buku Perpustakaan Kelamin. Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah
memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Di
Indonesiapun pada saat penyebaran Islam Wali Sanga banyak menggunakan sastra
sebagai media untuk menyebarkan Islam pada masa itu. Hal ini tak pelak
menyebabkan kebudayaan sastra lokal pada masa itu terpengaruh oleh kebudayaan
Islam.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sastra merupakan
salah satu hasil peradaban tertinggi umat manusia. Dalam perkembangannya sastra
di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu sastra lama seperti hikayat/babad ada
pula yang berupa kitab (suluk) dan adapula sastra baru/modern.
Sebagaimana dalam periode Hindu-Buddha, pada jaman Islam para pujangga pada umumnya juga berada di sekitar istana. Mereka menyusun karya-karya sastranya terutama sekali diperuntukkan sebagai sarana legitimasi kekuasaan para raja. Karya model ini kemudian disebut sebagai “puja sastra”.
Di samping ”puja sastra” banyak juga karya-karya keagamaan yang diperuntukkan sebagai pedoman laku spiritual para raja dan para bangsawan. Tidak jarang juga para pujangga tersebut, dalam karyanya mengaitkan agama dengan kekuasaan, bahkan sering, dalam rangka melegitimasi penguasa, mereka mengaitkan genealogi raja dengan para dewa. Oleh sebab itulah maka dikenal adanya istilah ”dewa raja”. Hal ini dikandung maksud agar kekuasaan raja bukan hanya mendapat legitimasi duniawi yang profan semata, akan tetapi juga bermakna spiritual-sakral. Hal ini juga terkandung maksud “bertemunya” dunia samawi dengan alam kemanusiaan.
Karya-karya sastra tulis yang ada saat itu bukan hanya hasil terjemahan, akan
tetapi beberapa karya diantaranya juga murni karya lokal. Ada juga karya
terjemahan yang dimodifikasi dengan nuansa Indonesia.
Karya sastra lisan sebagaimana tersebut dapat
kita temukan misalnya kisah Sunan Giri dengan keris Kalamunyeng-nya. Yaitu
suatu keris ampuh, tercipta dari pena yang dapat mengusir laskar dari Majapahit
yang menyerangnya. Tongkat ajaib milik Sunan Bonang yang dapat mengobah
buah kolang-kaling menjadi emas ketika Sunan Bonang dihadang para
penjahat. Sunan Kalijaga mampu menghidupkan kembali binatang melata,
”orongorong” yang mati karena lehernya terpotong saat para wali memahat kayu
untuk mendirikan masjid pertama di Jawa, Demak. Bahkan dari sastra lisan
kita dapatkan kisah rakyat tentang seorang mantan raja Amarta, Prabhu
Dharmakusuma yang pada akhirnya khusnul khotimah, masuk Islam dan
disemayamkan di komplek makam masjid Demak. Carita-cerita irrasional demikian
mengingatkan kita tentang kisah pada jaman Hindu–Buddha di mana Empu Bharada
terbang di angkasa menunaikan tugas membelah negara Kahuripan dengan
mengucurkan air dari kendi yang dibawanya.
Di Jawa kegiatan bercerita tutur ini kita
dapatkan dengan model “maca pat” yang dilaksanakan pada saat-saat tertentu,
misalnya pada upacara kelahiran, inisiasi khitanan dsb. Maca pat adalah
membaca puisi-puisi dan cerita tutur Jawa yang berintikan ajaran agama Islam,
shalawat serta kisah para Nabi, sahabat dan para orang-orang suci.
Disebut “maca pat” sebab tiap untaian kata selalu berpedoman dengan empat suku
kata.
Salah satu karya tulis monumental yang menjadi
sarana Islamisasi di Nusantara (Indonesia) adalah epos gubahan Mahabharata.
Sebagaimana dimaklumi bahwa karya ini adalah kisah dan epos Hindu yang
ditulis oleh Resi Viyasa. Pada jaman kerajan Kediri, oleh Empu Sedah dan Empu
Panuluh karya ini digubah menjadi bernuansa Jawa. Ketika Islam mulai masuk ke
Jawa, cerita Mahabharata menjadi bernuansa Islam.
Pada periode berikutnya banyak karya tulis yang
dihasilkan oleh para pujangga di Sumatera, Makassar dan juga di Jawa. Di Jawa
karya-karya demikian disebut dengan ”serat”. Disebut dengan ”serat”, sebab
untuk menghasilkan sebuah karya tulis biasanya ditulis (diserat=Jawa)
dengan tangan, baik karya dimaksud berupa gubahan maupun karangan asli. Salah
satu contoh misalnya ”Serat Ambiyo”, suatu karya gubahan dari Qisshotul
Anbiya’, bukan dari surat al anbiya’, nama salah satu surat di dalam al Qur’an.
Contoh lain misalnya Serat Djati Swara (tulisan atau karya tentang ”Suara
yang sejati”) serat Wedhatama, Serat Wirid Hidajat Djati, Serat Tjenthini
Serat Dewa Rutji dsb.
Sering kali sastra lisan maupun tulisan menjadi
cerita utama (lakon) dalam beberapa kesenian panggung (pentas), pada umumya
wayang kulit, wayang orang dan sebagainya. Kisah Mahabharata, suatu karya
gubahan di Jawa biasanya selalu menjadi cerita utama dalam pertunjukan wayang
kulit. Sedangkan cerita-cerita Wong Agung Menak, Umar-Amir, biasanya
dipentaskan (dipertontonan) dalam kesenian wayang krucil (wayang yang terbuat
dari papan kayu). Di sini dua jenis kesenian yakni seni sastra dan seni musik,
panggung (pentas) bersinergi muncul menjadi sarana saluran Islamisasi.
Saluran ini, khususnya seni wayang sangat populer di masyarakat karena memang secara sejarah dan kebudayaan telah lama menjadi icon masyarakat, sejak periode Hindu dan Buddha. Dalam kaitanya dengan wayang, Sunan Kalijaga adalah figur yang paling masyhur kepiawaiannya dalam memainkan wayang. Sebagai upah dari pentasnya memainkan wayang, Sunan Kalijaga tidak minta imbalan barang atau harta melainkan para pemirsa diminta mengucapkan dua kalimah syahadat (syahadatain=pen). Dari kalimat Sayhadatain ini kemudian muncul di masyarakat istilah “sekaten”, khususnya di beberapa kota di Jawa Tengah. Dari kalimat ini kemudian masyarakat menjadikannya sebagai momentum peringatan hari lahir Nabi Muhamad SAW. Oleh sebab itu secara annual, pada tiap tanggal dua belas Rabiul Awwal (Mulud), dilaksanakan upacara seremonial Garebeg Mulud dan Sekatenan.
Di samping cerita Mahabharata maupun Ramayana, cerita tentang jimat Kalimasada selalu menjadi icon dalam pedalangan. “Kalimasada”, sering difahami sebagai sulih kata dari “Kalimah Syahadat” yaitu “Asyhadu an la ilaha illallah’ wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” Artinya: Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah; dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Dalam Islam kalimat “syahadat” ini merupakan kredo yang amat sakral bagi keislaman seseorang. Dari penuturan kisah di atas, dapat difahami bahwa para penutur berupaya mengkaitkan kisah tentang Dharmakusuma, raja Amarta yang pada akhir hidupnya memeluk Islam.
Diceritakan bahwa setelah usai perang besar
Bharatayuda, Prabhu Dharmakusuma tidak bisa secepatnya mencapai nirwana (moksa)
sebagaimana para sauadara-saudaranya, karena adanya dua faktor. Pertama, karena
ia terpaksa harus berfikir tentang beban-beban duniawi yang berupa suksesi dan
kelanjutan kerajaan Amarta dan Hastina yang baru direbut dari Kaurawa. Ia
terikat dengan ikatan-ikatan serta kepentingan-kepentingan dunawi sehingga
sulit untuk bisa segera mencapai kesempurnaan, moksa. Kedua, karena
terbawa olehnya satu azimat (jimat) keramat yaitu jimat Kalimasada yang ia
sendiri tidak bisa membacanya. Beratus-ratus tahun ia berkelana ke berbagai
ujung dunia mencari orang pintar untuk mengajar membaca Kalimasada yang
dibawanya kesana dan kemari tersebut. Akhirnya ketika berkelana di pulau Jawa,
ia bertemu dengan Sunan Kalijaga yang ternyata bisa mengajarinya. Setelah
bisa membaca dan memahami azimat tersebut, Prabu Dharmakususma dapat
moksa, mati sempurna, wafat secara Islam dan dimakamkan di komplek
pemakaman masjid Demak, satu komplek dengan raja Islam pertama di Jawa,
Raden Patah.
Demikian, kelihatannya para penutur/pencerita
tutur Jawa mengaitkan keberadaan kerajaan Hindu terakhir di Jawa yakni
Majapahit dengan munculnya kerajaan baru, Demak yang berintikan agama Islam.
Dengan runtuhnya Majapahit yang Hindu dan digantikan oleh Demak yang
Islam bukanlah berarti merupakan akhir segala-galanya bagi orang Jawa, sebab
Islam justru meneruskan dan melestarikan budaya lama tersebut. Istilah inilah
yang oleh Habib Mustopo disebut dengan “mengkonservasi Kebudayaan Majapahit.
Dalam masyarakat tradisional, kepercayaan dan
keberagamaan seorang raja menjadi panutan bagi masyarakat di wilayah itu. An
Nǎsu ’ala dỉni mulukihim yang artinya: “keberagamaan rakyat (suatu
negara) selalu mengikuti agama raja/rajanya”.
Sementara itu sebagian fihak ada yang memahami
kata “Kalimasada” berasal dari kata “Kalimahusada ”. Kalima berarti
lima, husada berarti obat.
Ini sebagaimana yang secara umum didendangkan
sebagai puji-pujian menjelang salat rawatib. Lima obat tersebut adalah: 1)
membaca Al-qur’an dengan memahami artinya; 2) mengerjakan salat malam; 3)
selalu bersahabat dengan orang-orang sholeh; 4) memperpanjang dzikir di waktu
malam; 5) tidak boleh terlalu kenyang. Dalam kalimatnya yang ritmik di berbagai
tempat di Jawa adalah sebagai berikut:
“Tombo ati iku lima warnane”
“Moco Qur-an angen-angen sak maknane”
“Kaping pindo Salat wengi lakonono”
“Kaping telu wong kang soleh kumpulono”
“Kaping papat dzikir wengi ingkang suwe”
“Kaping limo kudu weteng ingkang luwe”.
Islamisasi melalui karya sastra juga dilakukan
secara bertahap oleh para wali di Jawa sebagaimana terlihat dengan
diakomodirnya primbon-primbon yang biasa digunakan sebagai pedoman oleh
masyarakat Jawa pada periode peralihan yang ditulis dengan huruf daerah. Hal ini
bisa kita lihat misalnya Primbon yang ditulis oleh Sunan Bonang, misalnya Suluk
Wujil Suluk Sukarsa, Suluk Malangsumirang dan lain-lain.
Dimaksudkan dengan “Suluk” adalah sulih kata
dari bahasa Arab salaka yang artinya “berjalan”. Orang yang melakukan
“perjalanan” ini disebut dengan “salik”, suatu istilah yang lazim digunakan
dalam dunia tasawuf. Adapun yang dimaksudkan dengan “perjalanan” tersebut
adalah perjalanan hidup atau siklus kehidupan manusia di dunia ini, yakni
berasal dari Allah, dan menuju serta berakhir pada Allah pula. Ini dapat
dilihat dari isi beberapa suluk di atas yang semuanya memberi tuntunan tentang
Budi Luhur dalam rangka menempuh perjalanan hidup tersebut. Namun ada juga yang
berpendapat bahwa karena bentuk karya sastra tersebut
bercorak sloka, maka kemudian pada jaman Islam dilestarikan sedemikian
rupa dan sedikit mengalami modifikasi dan perobahan dialek menjadi suluk.
Masih dalam karya sastra, bahwasanya sampai
pada abad ke 16 hingga abad ke 17 Masehi, pengaruh sastra dan
budaya Islam baru nampak dalam pergumulan dengan sastra Melayu dan Jawa,
setelah sekian abad berinteraksi.
Dalam Sastra Budaya Melayu misalnya, Islam
diterima sebagai unsur yang memperkaya, mendinamisasi serta mengangkat
derajat sastra Melayu tersebut. Maka dalam perkembagannya ketika terjadi
integrasi akan sulit dipisahkan. Antara sastra Melayu dan Islam telah menyatu
sedemikian rupa. Keduanya laksana satu mata uang dengan dua muka.
Demikian pula di Jawa, setelah sekian lama sastra daerah ini bercorak
Majapahitan yang Hindu-Buddha sentris, kemudian dengan datangnya Islam
diperhalus sedemikian rupa dan berkembang ke daerah-daerah pesisir Utara Pulau
Jawa. Pada gilirannya pergumulan antara dua kubu ini menghasilkan dua
jenis budaya atau sastra Jawa. Masing-masing adalah sastra Jawa Pesantren
(Sastra Islam Santri) dan Sastra Islam Kejawen. Lewat penghayatan terhadap
pesan-pesan kesastraan demikian Islam berkembang ke masyarakat lebih dalam.
Menurut Simuh, sastra (pustaka) pesantren sangat
terikat dengan syare’at. Syare’at dalam pengertian yang luas yang disebut
syara’; yang berarti agama. Sedangkan kepustakaan (sastra kejawen) memuat
perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran agama Islam, terutama
dalam aspekaspek tasawwuf dan budi luhur sebagaimana yang terdapat dalam
khazanah kitab-kitab tasawwuf. Di antara ciri kepustakaan (sastra) kejawen
adalah menggunakan bahasa Jawa, dan sangat minim mengungkapkan aspek syare’at,
bahkan sebagian ada yang kurang appresiatip terhadap syare’at, yakni syare’at
dalam arti hukum-hukum lahiriyah dalam agama Islam.
Begitulah sastra sangat berpengaruh terhadap
penyebaran Islam di Indonesia. Hingga sekarang sastra merupakan seni yang
paling menarik untuk dikaji dan dipelajari. Karena mempelajari sastra sama
dengan mempelajari peradaban umat manusia. Sastra adalah penghubung zaman.
Sastra adalah jiwanya umat manusia. Tanpa sastra, banyak kata tanpa makna,
bahasa tanpa tulisan, dan cinta tanpa kasih sayang.
Daftar Referensi
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam
di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 24-36.
Dr. Ismail Hamid, Kesusastraan Indonesia Lama
Bercorak Islam, (Jakarta: Penerbit Pustaka al Husna, 1989), hlm. 2
Mustopo, Habib Muhammad. Budaya Islam di Bumi
Kediri. Makalah Seminar Hari Jadi Kediri. Panitia Seminar Hari Jadi Kediri.
IKIP PGRI 2001.
Ahmad Thohari, dkk. Sastra dan Budaya Islam
Nusantara (Dialektika Antarsistem Nilai): (Yogyakarta: SMF. Fak Adab IAN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. 1998). hlm. 20
Oleh Ai Halimah
Kader PMII Adab dan
Humaniora
Komisariat UIN Sunan
Gunung Djati
Cabang Kota Bandung
1 Komentar
Luar biasa !!
BalasHapusLanjutkan berkarya.
Sastra dan manusia, dua kata yang menjadi satu makna.
Memang benar saya kira, dengan mempelajari sastra secara tidak langsung membawa kita ke arah mempelajari peradaban manusia.
Tapi berbicara tentang sastra, ada beberapa keresahan Yang sering terbesit dalam benak saya akhir-akhir ini, bagaimana dengan sastra di tahun 2020? Seberapa besar efek sastra terhadap peradaban manusia generasi millenial ini? Seberapa besar Intervensi sastra terhadap pola pikir manusia instan zaman sekarang? Zaman Dimana cerita indah kalah sama vidio pendek bernada mendesah.
Mungkin kejayaan sastra sudah kadaluarsa. Atau mungkin ada yang punya opini lain?