Ticker

6/recent/ticker-posts

Seni Sastra sebagai Media Islamisasi di Indonesia

       

Seni Sastra sebagai Media Islamisasi di Indonesia

Islamisasi merupakan salah satu tema penting dalam kajian sejarah Islam di Nusantara. Para sejarawan masih terus memperdebatkan mengenai kapan, dari mana, di mana, dan oleh siapa Islam pertama kali masuk di kawasan tersebut. Sebagian sejarawan berpendapat bahwa Islam telah masuk di Nusantara semenjak abad VII M dan VIII M, sedangkan sebagian lainnya menyatakan bahwa Islam mulai masuk di kawasan ini semenjak abad XIII M hal ini tercantum dalam buku Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia adapaun bagaimana proses Islamisasi beserta metode-metodenya banyak sekali dijelaskan dalam buku-buku sejarah Nusantara.

Proses Islamisasi di Indonesia banyak melalui berbagai pendekatan diantaranya yang paling banyak di gandrungi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya ialah melalui kesenian khususnya seni sastra baik sastra lisan maupun tulisan. Mengutip dari sebuah buku “Tidak ada satu negara besar pun, yang rakyatnya bukan penggandrung sastra.” –Sanghyang M. Pancaniti penulis buku Perpustakaan Kelamin. Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Di Indonesiapun pada saat penyebaran Islam Wali Sanga banyak menggunakan sastra sebagai media untuk menyebarkan Islam pada masa itu. Hal ini tak pelak menyebabkan kebudayaan sastra lokal pada masa itu terpengaruh oleh kebudayaan Islam.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sastra merupakan salah satu hasil peradaban tertinggi umat manusia. Dalam perkembangannya sastra di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu sastra lama seperti hikayat/babad ada pula yang berupa kitab (suluk) dan adapula sastra baru/modern.

Sebagaimana dalam periode Hindu-Buddha, pada jaman Islam para pujangga pada umumnya juga berada di sekitar istana. Mereka menyusun karya-karya sastranya terutama sekali diperuntukkan sebagai sarana legitimasi kekuasaan para raja. Karya model ini kemudian disebut sebagai “puja sastra”.

Di samping ”puja sastra” banyak juga karya-karya keagamaan yang diperuntukkan sebagai pedoman laku spiritual para raja dan para bangsawan. Tidak jarang juga para pujangga tersebut, dalam karyanya mengaitkan agama dengan kekuasaan, bahkan sering, dalam rangka melegitimasi penguasa, mereka mengaitkan genealogi raja dengan para dewa. Oleh sebab itulah maka dikenal adanya istilah ”dewa raja”. Hal ini dikandung maksud agar kekuasaan raja bukan hanya mendapat legitimasi duniawi yang profan semata, akan tetapi juga bermakna spiritual-sakral. Hal ini juga terkandung maksud  “bertemunya” dunia samawi dengan alam  kemanusiaan.

Karya-karya sastra tulis yang ada saat itu bukan hanya hasil terjemahan, akan tetapi beberapa karya diantaranya juga murni karya lokal. Ada juga karya terjemahan yang dimodifikasi dengan  nuansa Indonesia.

Karya sastra lisan sebagaimana tersebut dapat kita temukan misalnya kisah Sunan Giri dengan keris Kalamunyeng-nya. Yaitu suatu keris ampuh, tercipta dari pena yang dapat mengusir laskar dari Majapahit yang menyerangnya. Tongkat ajaib milik Sunan Bonang yang dapat mengobah  buah kolang-kaling  menjadi emas ketika Sunan Bonang dihadang para penjahat. Sunan Kalijaga mampu menghidupkan kembali binatang melata, ”orongorong” yang mati karena lehernya terpotong saat para wali memahat kayu untuk mendirikan masjid pertama di Jawa,  Demak. Bahkan dari sastra lisan kita dapatkan kisah rakyat tentang seorang mantan raja Amarta, Prabhu Dharmakusuma yang pada akhirnya khusnul khotimah,  masuk Islam dan disemayamkan di komplek makam masjid Demak. Carita-cerita irrasional demikian mengingatkan kita tentang kisah pada jaman Hindu–Buddha di mana Empu Bharada terbang di angkasa menunaikan tugas membelah negara Kahuripan dengan mengucurkan air dari kendi yang dibawanya.

Di Jawa kegiatan bercerita tutur ini  kita dapatkan dengan model “maca pat” yang dilaksanakan pada saat-saat tertentu, misalnya pada upacara kelahiran, inisiasi khitanan dsb. Maca pat adalah membaca puisi-puisi dan cerita tutur Jawa yang berintikan ajaran agama Islam, shalawat serta  kisah para Nabi, sahabat dan para orang-orang suci. Disebut “maca pat” sebab tiap untaian kata selalu berpedoman dengan empat suku kata.

Salah satu karya tulis monumental yang menjadi sarana Islamisasi di Nusantara (Indonesia) adalah epos gubahan Mahabharata. Sebagaimana dimaklumi bahwa karya ini adalah kisah dan epos  Hindu yang ditulis oleh Resi Viyasa. Pada jaman kerajan Kediri, oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh karya ini digubah menjadi bernuansa Jawa. Ketika Islam mulai masuk ke Jawa, cerita Mahabharata menjadi bernuansa Islam.

Pada periode berikutnya banyak karya tulis yang dihasilkan oleh para pujangga di Sumatera, Makassar dan juga di Jawa. Di Jawa karya-karya demikian disebut dengan ”serat”. Disebut dengan ”serat”, sebab untuk menghasilkan sebuah karya tulis biasanya ditulis (diserat=Jawa) dengan tangan, baik karya dimaksud berupa gubahan maupun karangan asli. Salah satu contoh misalnya ”Serat Ambiyo”, suatu karya gubahan dari Qisshotul Anbiya’, bukan dari surat al anbiya’, nama salah satu surat di dalam al Qur’an. Contoh lain misalnya Serat Djati Swara  (tulisan atau karya tentang ”Suara yang sejati”) serat Wedhatama, Serat Wirid Hidajat Djati, Serat Tjenthini  Serat Dewa Rutji dsb.

Sering kali sastra lisan maupun tulisan menjadi cerita utama (lakon) dalam beberapa kesenian panggung (pentas), pada umumya wayang kulit, wayang orang dan sebagainya. Kisah Mahabharata, suatu karya gubahan di Jawa biasanya selalu menjadi cerita utama dalam pertunjukan wayang kulit. Sedangkan cerita-cerita Wong Agung Menak, Umar-Amir, biasanya dipentaskan (dipertontonan) dalam kesenian wayang krucil (wayang yang terbuat dari papan kayu). Di sini dua jenis kesenian yakni seni sastra dan seni musik, panggung (pentas) bersinergi muncul menjadi sarana saluran Islamisasi.

Saluran ini, khususnya seni wayang sangat populer di masyarakat karena memang secara sejarah dan kebudayaan telah lama menjadi icon  masyarakat, sejak periode Hindu dan Buddha. Dalam kaitanya dengan wayang, Sunan Kalijaga adalah figur yang paling masyhur kepiawaiannya dalam memainkan wayang. Sebagai upah dari pentasnya memainkan wayang, Sunan Kalijaga tidak minta imbalan barang atau harta melainkan para pemirsa diminta mengucapkan dua kalimah syahadat (syahadatain=pen). Dari kalimat Sayhadatain ini kemudian muncul di masyarakat istilah  “sekaten”, khususnya di beberapa kota di Jawa Tengah. Dari kalimat ini kemudian masyarakat menjadikannya sebagai momentum peringatan hari lahir Nabi Muhamad SAW. Oleh sebab itu secara annual, pada tiap tanggal dua belas Rabiul Awwal (Mulud), dilaksanakan upacara seremonial Garebeg Mulud dan Sekatenan.

Di samping cerita Mahabharata maupun Ramayana, cerita tentang jimat Kalimasada selalu menjadi icon dalam pedalangan. “Kalimasada”, sering difahami sebagai sulih kata dari “Kalimah Syahadat” yaitu “Asyhadu an la ilaha illallah’ wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”  Artinya: Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah; dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Dalam Islam kalimat “syahadat” ini merupakan kredo yang amat sakral bagi keislaman seseorang. Dari penuturan kisah di atas, dapat difahami bahwa para penutur berupaya mengkaitkan kisah tentang Dharmakusuma, raja Amarta yang pada akhir hidupnya memeluk Islam.

Diceritakan bahwa setelah usai perang besar Bharatayuda, Prabhu Dharmakusuma tidak bisa secepatnya mencapai nirwana (moksa) sebagaimana para sauadara-saudaranya, karena adanya dua faktor. Pertama, karena ia terpaksa harus berfikir tentang beban-beban duniawi yang berupa suksesi dan kelanjutan kerajaan Amarta dan Hastina yang baru direbut dari Kaurawa. Ia terikat dengan ikatan-ikatan serta kepentingan-kepentingan dunawi sehingga sulit untuk bisa  segera mencapai kesempurnaan, moksa. Kedua, karena terbawa olehnya satu azimat (jimat) keramat yaitu jimat Kalimasada yang ia sendiri tidak bisa membacanya. Beratus-ratus tahun ia berkelana ke berbagai ujung dunia mencari orang pintar untuk mengajar membaca  Kalimasada yang dibawanya kesana dan kemari tersebut. Akhirnya ketika berkelana di pulau Jawa, ia bertemu dengan Sunan Kalijaga yang ternyata bisa mengajarinya.  Setelah bisa membaca dan memahami azimat tersebut,  Prabu Dharmakususma dapat moksa, mati sempurna, wafat secara Islam dan dimakamkan di komplek  pemakaman masjid Demak, satu komplek dengan raja Islam pertama di Jawa, Raden Patah.

Demikian, kelihatannya para penutur/pencerita tutur Jawa mengaitkan keberadaan kerajaan Hindu terakhir di Jawa yakni Majapahit dengan munculnya kerajaan baru, Demak yang berintikan agama Islam. Dengan runtuhnya Majapahit  yang Hindu  dan digantikan oleh Demak yang Islam bukanlah berarti merupakan akhir segala-galanya bagi orang Jawa, sebab Islam justru meneruskan dan melestarikan budaya lama tersebut. Istilah inilah yang oleh Habib Mustopo disebut dengan “mengkonservasi Kebudayaan Majapahit.

Dalam masyarakat tradisional, kepercayaan dan keberagamaan seorang raja menjadi panutan bagi masyarakat di wilayah itu. An Nǎsu ’ala dỉni mulukihim yang artinya: “keberagamaan rakyat (suatu negara)  selalu  mengikuti  agama raja/rajanya”.

Sementara itu sebagian fihak ada yang memahami kata “Kalimasada” berasal dari  kata “Kalimahusada ”.  Kalima berarti lima,  husada berarti obat.

Ini sebagaimana yang secara umum didendangkan sebagai puji-pujian menjelang salat rawatib. Lima obat tersebut adalah: 1) membaca Al-qur’an dengan memahami artinya; 2) mengerjakan salat malam; 3) selalu bersahabat dengan orang-orang sholeh; 4) memperpanjang dzikir di waktu malam; 5) tidak boleh terlalu kenyang. Dalam kalimatnya yang ritmik di berbagai tempat di Jawa adalah sebagai berikut:

“Tombo ati iku lima warnane”
 “Moco Qur-an angen-angen sak maknane”
“Kaping pindo Salat wengi lakonono”
 “Kaping telu wong kang soleh kumpulono”
“Kaping papat dzikir wengi ingkang suwe”
“Kaping limo kudu weteng ingkang luwe”.

Islamisasi melalui karya sastra juga dilakukan secara bertahap oleh para wali di Jawa sebagaimana terlihat dengan diakomodirnya primbon-primbon yang biasa digunakan sebagai pedoman oleh masyarakat Jawa pada periode peralihan yang ditulis dengan huruf daerah. Hal ini bisa kita lihat misalnya Primbon yang ditulis oleh Sunan Bonang, misalnya Suluk Wujil  Suluk Sukarsa, Suluk Malangsumirang  dan lain-lain.

Dimaksudkan dengan “Suluk” adalah sulih kata dari bahasa Arab salaka yang artinya “berjalan”. Orang yang melakukan “perjalanan” ini disebut dengan “salik”, suatu istilah yang lazim digunakan dalam dunia tasawuf. Adapun yang dimaksudkan dengan “perjalanan” tersebut adalah perjalanan hidup atau siklus kehidupan  manusia di dunia ini, yakni  berasal dari Allah, dan menuju serta berakhir pada Allah pula. Ini dapat dilihat dari isi beberapa suluk di atas yang semuanya memberi tuntunan tentang Budi Luhur dalam rangka menempuh perjalanan hidup tersebut. Namun ada juga yang berpendapat  bahwa karena bentuk  karya sastra tersebut  bercorak sloka, maka kemudian pada jaman Islam dilestarikan sedemikian rupa dan sedikit mengalami modifikasi dan perobahan dialek menjadi suluk.

Masih dalam karya sastra, bahwasanya sampai  pada abad ke 16  hingga abad ke 17 Masehi, pengaruh sastra dan budaya Islam baru nampak dalam pergumulan dengan sastra Melayu dan Jawa, setelah sekian abad  berinteraksi.

Dalam Sastra Budaya Melayu misalnya, Islam diterima sebagai  unsur yang memperkaya, mendinamisasi serta mengangkat derajat sastra Melayu tersebut. Maka dalam perkembagannya ketika terjadi integrasi akan sulit dipisahkan. Antara sastra Melayu dan Islam telah menyatu sedemikian rupa. Keduanya laksana satu  mata uang dengan dua muka.  Demikian pula di Jawa, setelah sekian lama sastra daerah ini bercorak Majapahitan yang Hindu-Buddha sentris, kemudian dengan datangnya Islam diperhalus sedemikian rupa dan berkembang ke daerah-daerah pesisir Utara Pulau Jawa. Pada gilirannya pergumulan antara  dua kubu ini menghasilkan dua jenis budaya atau sastra Jawa. Masing-masing adalah sastra Jawa Pesantren (Sastra Islam Santri) dan Sastra Islam Kejawen. Lewat penghayatan terhadap pesan-pesan kesastraan demikian Islam berkembang ke masyarakat lebih dalam.

Menurut Simuh, sastra (pustaka) pesantren sangat terikat dengan syare’at. Syare’at dalam pengertian yang luas yang disebut syara’; yang berarti agama. Sedangkan kepustakaan (sastra kejawen) memuat perpaduan  antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran agama Islam, terutama dalam aspekaspek tasawwuf dan budi luhur sebagaimana yang terdapat dalam khazanah kitab-kitab tasawwuf. Di antara ciri kepustakaan (sastra) kejawen adalah menggunakan bahasa Jawa, dan sangat minim mengungkapkan aspek syare’at, bahkan sebagian ada yang kurang appresiatip terhadap syare’at, yakni syare’at dalam arti hukum-hukum lahiriyah dalam agama Islam.

Begitulah sastra sangat berpengaruh terhadap penyebaran Islam di Indonesia. Hingga sekarang sastra merupakan seni yang paling menarik untuk dikaji dan dipelajari. Karena mempelajari sastra sama dengan mempelajari peradaban umat manusia. Sastra adalah penghubung zaman. Sastra adalah jiwanya umat manusia. Tanpa sastra, banyak kata tanpa makna, bahasa tanpa tulisan, dan cinta tanpa kasih sayang.

Daftar Referensi

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 24-36.

Dr. Ismail Hamid, Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam, (Jakarta: Penerbit Pustaka al Husna, 1989), hlm. 2 

Mustopo, Habib Muhammad. Budaya Islam di Bumi Kediri. Makalah Seminar Hari Jadi Kediri. Panitia Seminar Hari Jadi Kediri. IKIP PGRI 2001.

Ahmad Thohari, dkk. Sastra dan Budaya Islam Nusantara (Dialektika Antarsistem Nilai): (Yogyakarta: SMF. Fak Adab IAN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 1998). hlm. 20

Oleh Ai Halimah

Kader PMII Adab dan Humaniora

Komisariat UIN Sunan Gunung Djati

Cabang Kota Bandung


Posting Komentar

1 Komentar

  1. Luar biasa !!
    Lanjutkan berkarya.


    Sastra dan manusia, dua kata yang menjadi satu makna.
    Memang benar saya kira, dengan mempelajari sastra secara tidak langsung membawa kita ke arah mempelajari peradaban manusia.

    Tapi berbicara tentang sastra, ada beberapa keresahan Yang sering terbesit dalam benak saya akhir-akhir ini, bagaimana dengan sastra di tahun 2020? Seberapa besar efek sastra terhadap peradaban manusia generasi millenial ini? Seberapa besar Intervensi sastra terhadap pola pikir manusia instan zaman sekarang? Zaman Dimana cerita indah kalah sama vidio pendek bernada mendesah.

    Mungkin kejayaan sastra sudah kadaluarsa. Atau mungkin ada yang punya opini lain?

    BalasHapus