Oleh: Ilham ( Mahasiswa SPI Angkatan 2018 )
Tanggal 8 Maret kemarin, gelora melaksanakan Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD), yang menjadi perayaan tahunan masyarakat dunia setelah PBB meresmikan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional itu cukup beragam. Antara lain long march, kampanye, pertunjukan seni, pameran, diskusi dan lain sebagainya yang berkaitan dengan perempuan. Selain semua perayaan tersebut, ada yang tak boleh ditinggalkan, dan tak luput dilepaskan, yakni semangat perempuan dan pemikiran anti misoginis tentunya, yang dalam kurun waktu 3 abad terakhir telah menjadi puzzle penting dalam rentetan sejarah kehidupan di bumi ini, mampu melahirkan gerakan-gerakan dengan skala besar dalam penetapannya. Hari Perempuan Internasional bukan hanya seremonial belaka. Dalam dari itu, perjuangan panjang kaum perempuan dalam merebut kembali haknya yang dirampas itu menjadi pemantik berkobarnya revolusi terbesar di awal abad ke-20. IWD menjadi momentum perjalanan kaum perempuan untuk keluar dari belenggu penindasan atas pribadinya yang sudah melekat selama bertahun-tahun, dan kemudian mampu mengubah tatanan kehidupan eko-pol-sos-bud masyarakat yang baru. Hari perempuan merupakan simbol gerakan massal yang bermula di satu tempat hingga meluas ke wilayah lain. Bermula dari pergolakan sosial yang besar dan mewariskan suatu tradisi protes aktivisme. Di New York, pada 8 Maret 1857, kaum buruh perempuan melakukan aksi demonstrasi. Mereka menentang aktivitas tempat bekerja dan upah yang mereka dapatkan. Lima puluh tahun berselang, tepatnya 8 Maret 1907, kembali terjadi aksi demonstrasi yang melibatkan 15 ribu perempuan buruh pabrik tekstil di negara dengan letak geografis yang tidak berbeda.
Pada 8 Maret 1909, para perempuan yang digalang
oleh Partai Sosialis Amerika di New York melakukan unjuk rasa kembali dengan
menuntut hak berpendapat dan berpolitik. Aksi yang memicu gerakan-gerakan
serupa di beberapa negara Eropa pada 19 Maret 1909 dengan tujuan yang sama.
Aksi yang melibatkan lebih dari satu juta orang dan meliputi beberapa negara
ini mampu berbiak dibarengi dengan manfaat yang banyak. Tahun 1910, seorang
aktivis hak-hak buruh perempuan, anggota Partai Demokrat Sosialis Jerman, Clara
Zetkin, menjadi salah satu perempuan yang memprakarsai Hari Perempuan
Internasional pada kongres ke dua Perempuan Internasional di Kopenhagen dan
dihadiri oleh 100 delegasi perempuan dari 17 negara. Ia mengatakan bahwa Hari
Perempuan Internasional harus dibuat untuk mendukung propaganda perjuangan
perempuan. Yang menurutnya, hal ini adalah upaya untuk menghubungkan seluruh
pergerakan kaum perempuan di seluruh dunia yang ingin bertanya akan konsep
dasar sosialisme dalam kehidupan sosial.
Ketika Eropa mampu menempatkan aspek ekualitas
sebagai ideologi dalam berinteraksi, lama sebelumnya, beberapa literatur agama
seperti hadist juga menceritakan tentang bagaimana berlaku adil pada manusia
tanpa mendiskriminasi gender. Masih ingat bagaimana proses pernikahan Nabi
Muhammad dan Khadijah? Khadijahlah yang justru menyampaikan terlebih dahulu
niatannya untuk menikah dengan putra dari Abdullah dan Aminah tersebut. Hal ini
dapat diinterpretasikan sebagai bentuk perlawanan terhadap kultur Arab
pra-Islam yang memposisikan perempuan sebagai makhluk kelas dua sehingga tidak
pantas untuk dimuliakan dan bahkan dianggap sebagai aib. Meskipun pada saat
Khadijah melamar Muhammad, istilah feminisme belum dikenal sebab baru muncul
dan di suarakan pada awal tahun 1800-an oleh seorang filsuf bernama Charles
Fourier. Naifnya, negara dengan julukan Zambrud Katulistiwa Endonesa ini
memperkokoh cara pandang misoginis dalam kehidupan sosialnya. Misoginis yang
secara etimologi memliki arti sikap membenci terhadap aspek-aspek yang
berkaitan dengan perempuan. Sebuah cara pandang yang kemudian melahirkan
diskriminasi, kekerasan, sampai objektifikasi seksual. Hal yang tentu bukan
sekedar fenomena biasa, melainkan kemunduran sebuah bangsa dalam menjaga marwah
keadilannya.
Kasus paling umum tentang praktiknya di Endonesa
adalah ketika meletakkan posisi perempuan sebagai bagian dari makhluk yang
lemah yang seharusnya dilindungi oleh kaum adam. Padahal dalam
keberlanjutannya, banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan baik fisik
maupun psikologis yang dialami perempuan justru datang dan dilakukan oleh
laki-laki. Maka demikian, sepanjang cara pandang misoginis terus menerus
dirawat dan dihidupkan, maka hal-hal yang berbau penyudutan identitas perempuan
akan terus mengalami keberlangsungan.
Kasus Tara Basro, adalah sebuah fenomena paling
mutakhir mengenai misoginis. Uniknya, kasus ini langsung disambat oleh Negara.
Melalui Kementrian, foto-foto yang diunggah Tara di akun media sosial
instagramnya dengan tema body positivity dianggap beraroma pornografi,
sehingga secara sepihak foto tersebut di take down karena mengancam hasrat kaum
Bapak. Cara yang tentu mendapat respon dari berbagai kalangan. Akademisi
memandang bahwa kasus ini adalah bentuk belenggu diskriminasi seksual yang
masih melekat pada kehidupan kebangsaan Indonesia.
Dengan semangat melawan fenomena body shamming,
teteh aing, oh, punten, Tara tepatnya berani memperlihatkan pesona lekuk
tubuhnya sebagai tanda bahwa perempuan punya kemerdekaan atas dirinya,
intervensi kaum adam berikut upaya pelecehan terhadap perempuan berdasarkan
bentuk tubuh bukanlah sebuah kekerasan baru dalam kehidupan bersosial. Oleh
sebab itu, semangat tersebut mendorong Tara menghadapi keras kepalanya negara
yang masih memiliki cara pandang misoginis terhadap usaha mewujudkan ekualitas
di Indonesia.
Kasus yang bukan hanya menjadi gejala
fenomenologis yang berlangsung secara otodidak, tetapi lebih jauh lagi, cara
pandang misoginis ini adalah warisan historis dan kultur yang disebar melalui
berbagai macam ritus kehidupan, yang dalam spasial terkecil ialah keluarga.
Bagaimana tidak, dalam kehidupannya, seorang anak perempuan sudah tentu jelas
akan mendapatkan pengawasan yang lebih ketat di setiap altivitasnya, sedang
sang anak laki relatif lebih bebas. Betul memang, bahwa ketidakadilan telah
berlangsung jauh sejak manusia di Endonesa ini belum mampu berpikir rasional.
Sebuah pengetahuan yang mengendap dan menjadikan manusia dewasa mewarisi cara
pandang misoginis secara brutal dan cenderung fanatik.
Dalam periode sejarah masyarakat dunia,
misoginis adalah bentuk sinisme kaum Bapak dalam melihat geliat kaum Ibu yang
mulai mengerti makna dari kesetaraan saat feminisme mulai muncul ke panggung
sejarah dengan menampilkan wajah kehidupan yang serba berbeda. Mary
Wollstonecraft lah motor penggerak yang menghidupkan gerakan ini melalui karya
tulisnya,--A Vindication of the Rights of Woman—pada tahun 1792. Karya atas
upayanya merespon pasca revolusi Prancis yang menurutnya dapat menjadi momentum
bagi perempuan untuk menyuarakan haknya dalam mengambil keputusan. Kemudian
tulisan tersebut menjadi pedoman bagi kaum perempuan yang menginginkan
ekualitas. Pada masa yang lebih lampau misalnya, kita mengenal seorang
perempuan cantik yang justru bernasib sial. Sebuah legenda misoginis yang
dikisahkan dalam cerita Medusa, di Athena. Sebuah kisah mengenai tragedi
kekerasan seksual yang menggemparkan seisi Yunani itu telah merubah wajah
hubungan laki-laki dan perempuan menjadi muram. Di akhir kisah, Medusa tidak
mampu melawan hukum Athena yang sangat patriarkis dan dibuat untuk melindungi
kepentingan kaum Bapak, sehingga ia dijatuhi hukuman berupa kutukan menjadi
mahluk buruk rupa.
Sebuah kisah dari contoh kecil bagaimana
pandangan misoginis berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat. Tanpa pandangan
misoginis, mungkin saja, Poseidon, sang penguasa laut itu akan dihukum pancung,
gantung, bahkan kebiri sekalipun meskipun ia adalah seorang Dewa. Tapi di mata
kehidupan, kesalahan bisa dilakukan oleh semua yang ada di muka bumi, termasuk
pohon mawar yang salah tumbuh di tebing yang curam sehingga tidak ada yang bisa
menikmati keindahannya. Namun demikianlah proses sejarah umat manusia yang
berkata lain, Medusa adalah pesakitan dari cara pandang misoginis di era yang
masih sangat kuno dan pemikiran modern belum bertumbuh.
Ada pula di akhir abad 18, sebuah gerakan kaum
Ibu telah mengguncang seisi langit dan bumi dataran Perancis. Peristiwa The
March On Versailles yang terjadi pada Oktober 1789 merupakan Aksi Masa
Perempuan yang terjadi di awal masa penting demokrasi Prancis. Sekelompok
perempuan lapar dan marah memprotes kenaikan harga kehidupan pasar yang serba
mahal. Menurut sejarawan Inggris--dalam artikel yang dimuat pada 27 Maret
2017 di Tirto.id, yang ditulis oleh Arman Dhani dengan judul “Protes Perempuan
dari Masa ke Masa”—menyebut insureksi perempuan ini lahir karena para ibu tak
punya lagi roti untuk makan anak-anak mereka, sementara para keluarga kerajaan
bisa dengan enak melakukan pesta sepuasnya. Tujuh ribu perempuan Perancis
melakukan perjalanan panjang untuk mengepung Istana Versailles. Aksi yang juga
berperan dalam melahirkan revolusi Prancis.
Dari peristiwa itu lah, semangat api revolusi
Perancis semakin berkobar. Masyarakat luas pun kemudian tersulut atas agitasi
kaum Ibu. Ini adalah sebuah peristiwa yang menjadi pijakan paling kuat,
masyarakat di bawah Napoleon Bonaparte bergerak untuk menggantung Louis XVI,
raja yang sombong dan penuh kebohongan. Sejarah mencatat, dari sinilah ide
besar bernegara lahir yang diberi nama Nasionalisme. Ide ini pula yang mempengaruhi
negeri-negeri terjajah di Abad 20 bergerak menentukkan nasibnya sendiri.
Ide nasionalisme kemudian masuk ke Indonesia di
Abad 19 saat negara ini masih Hindia Belanda, satu abad setelah Revolusi
Perancis meletus. Ide ini masuk melalui kanal Barat, buku-buku tentang
nasionalisme kemudian meracuni beberapa anak ningrat di Indonesia. Bersamaan
dengan itu, ketika ilmu pengetahuan mulai bergeliat, parlemen Belanda mulai
berdebat tentang kebijakan koloninya, buku-buku tentang feminisme ikut
menyelinap masuk ke Hindia Belanda dan dibawa oleh para pegawai perempuan.
Di Hindia Belanda ini, feminisme dan
nasionalisme bertemu dan menjadi ideologi baru bagi generasi kaum terpelajar
yang pertama. Adalah Kartini yang juga dapat digolongkan sebagai generasi pembaca
feminisme dan nasionalisme yang pertama itu. Meskipun kebudayaan
memenjarakannya, keinginannya untuk belajar dan berdiri sejajar dengan
anak-anak perempuan Eropa terus berdentum. Hingga ayahnya tidak mampu menolak,
akhirnya Kartini disekolahkan dengan alasan untuk menjaga Kartini dari depresi
atau kemurungan.
Selain itu, Kartini juga menulis surat kepada sejumlah sahabat Baratnya, salah satunya Rosa Abendanon, istri dari JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Kelak, JH Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini dan menjadikannya sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (1911). Buku yang diterjemahkan oleh sastrawan Armijn Pane pada 1939 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini, meskipun tidak pernah disebut oleh sejarah resmi sebagai karya monumental, tetapi peranannya telah membangkitkan semangat perempuan di Abad 20 untuk terlibat dalam usaha kemerdekaan. Sehingga, buku ini, mungkin, menjadi kitab feminis paling kuno yang dimiliki oleh Indonesia, berkisah tentang pemikiran modern perempuan dan usaha mewujudkan ekualitas.
Indonesia di permulaan Abad 20 menunjukkan
perkembangan yang baik dari segi pemikiran perempuan. Setelah mengalami
liku-liku di Abad 19, banyak perempuan yang tergugah oleh pemikiran Kartini.
Sitti Soendari yang membacakan pidato berjudul “Kewadjiban & Tjita-Tjita
Poeteri Indonesia” pada Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta 1928, dengan
terang-terangan mengakui mendapat inspirasi menulis dari Kartini. Sebagian
besar pemimpin organisasi perempuan yang menghadiri kongres itu adalah pembaca
buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” maupun surat-surat Kartini yang tercecer,
pandangan Kartini pula tentang perempuan yang maju adalah yang mau
berorganisasi, menghasilkan maha karya terbesar dalam sejarah perempuan
Indonesia, yaitu Kongres Perempuan yang di dalamnya melahirkan gagasan tentang
equalitas dan kewajiban bagi perempuan Indonesia ikut terlibat dalam usaha
mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Pandangan di atas mempertegas bahwa perjuangan
Kartini tidak habis ketika ia wafat pada 1904. Pemikiran dan cita-citanya terus
mengalir sampai jauh mempengaruhi setiap perempuan terpelajar di Indonesia pada
masa pergerakan. Hal ini mempertegas bahwa Kartini berhasil menjadi martir bagi
perjuangan Indonesia yang meledakkan semangat kebangsaan kaum Ibu. Peran ini
pula yang berhasil mengantarkannya menjadi Pahlawan dan Ibu Bangsa.
Selain Kartini, telah disebutkan di atas, bahwa
awal abad ke 20 kaum perempuan memiliki peranan penting dalam mewujudkan
revolusi Rusia serta berdirinya Uni Soviet. Gerakan yang tidak berlaku bagi
perempuan Rusia pada revolusi Februari 1917 dengan semboyan “kasur, dapur dan
sumur”. Pada periode sebelum revolusi Februari 1917 atau yang dikenal dengan
revolusi Borjuis-Demokrat 1917, hak dan kewajiban wanita diatur dalam sebuah
kode etik bernama Domostroi. Hukum yang berawal pada abad 16 di Rusia ini
mengatur tentang rumah tangga dan keluarga yang dibuat oleh Gereja Kristen
Ortodoks, yang semua pembuat hukum tersebut adalah laki-laki. Hukum yang
merepresentasikan cara pandang misoginis, sehingga menempatkan wanita sebagai
kaum inferior yang memiliki ruang gerak sangat sempit dan mengalami banyak
diskriminasi.
Adalah Alexandra Kollontai, seorang feminis dan
aktivis yang kerap kali membela buruh pabrik, menjadi pemimpin pemberontakan
yang dilakukan oleh para pekerja perempuan untuk menuntut persamaan hak.
Demonstrasi yang mampu membanjiri Petrograd—yang sekarang dikenal sebagai Saint
Petersburg—dengan 100 ribu perempuan untuk menyuarakan aspirasi mereka dan
menuntut revolusi Rusia. Pemberontakan Alexandra diikuti pula oleh kaum buruh
lainnya. Selain menuntut persamaan hak, banyaknya tentara Rusia yang meninggal
pada PD I, membuat perempuan yang kehilangan suami, ayah, dan anaknya, turun ke
jalan untuk berunjuk rasa atas kekejaman pemerintahan Tsar terakhir, Tsar
Nikolai II yang akhirnya mengundurkan diri dari tahta Imperium Rusia, dan
putuslah tampuk kekasaan yang selama 300 tahun di pegang oleh Dinasti Romanov
kemudian digantikan oleh Pemerintahan Sementara a.k.a Vremennoye Pravitelstvo
untuk mengisi kekosongan kekuasaan. Tahun-tahun selanjutnya, atas keseriusan
Lenin dalam mendukung emansipasi wanita, terbukti dengan diakuinya hak wanita
dalam pemilu serta menjadikan Hari Perempuan Internasional secara resmi sebagai
hari libur nasional di negeri beruang putih. Belum lagi ada Nadezhda Krupskaya,
seorang marxist pada tahun 1890-an dan menikah dengan Lenin di pengasingan
selama tiga tahunnya di Siberia. Selain dua orang tersebut, di rusia, ada pula
Inessa Armand, Evgenia Bosh, dan Elenea Stasova yang berperan penting dalam
beberapa waktu yang berbeda. Sebuah paket waktu yang kongkret dalam revolusi
tersebut.
Pada masa pemikiran perempuan ini, pandangan
misoginis sudah mulai berkurang digantikan oleh feminisme. Gerakan perempuan,
organisasi perempuan, para pekerja perempuan, menteri-menteri perempuan, dan
keterlibatan perempuan dalam aktivitas sosial politik menunjukkan kemajuan yang
luar biasa dengan pesan anti misoginis, tak terlewatkan di Indonesia. Indonesia
mampu merdeka, berdiri sejajar dengan negara-negara Barat pada segi kedudukan
kaum Bapak dan kaum Ibu. Maria Ulfah Santoso yang menjabat sebagai Menteri
Sosial dalam kurun waktu 15 bulan lebih beberapa hari pada masa Pemerintahan
Sjahrir adalah contohnya.
Dalam semangatnya Indonesia melakukan kemajuan
yang luar biasa, pada era mutakhir ini justru penghancuran semangat anti
misoginis pada masa periode kedua Jokowi dilakukan. Kehadiran RUU Ketahanan
adalah salah satu aturan yang pro budaya patriarki. Sejak itulah, negara secara
gamblang ingin mengembalikan peran perempuan ke ranah domestik belaka, lebih
jauh lagi, pemerintah hari ini ingin menghidupkan kembali ide yang telah
dikubur bersama dengan terbitnya zaman modern ini, yaitu misoginisme. Sebuah
semangat anti misoginis yang progresif coba dimatikan melalui cara-cara
formal-struktural. Keinginan memakan mentah-mentah warisan pemikiran yang purba
itu, keengganan untuk mewujudkan ekualitas, dan keinginan untuk menguasai
sekaligus mengontrol tubuh perempuan adalah kemunduran peradaban umat manusia
yang masih berlangsung di kehidupan masyarakat elit birokrat kita. Kejadian
yang tentu menjadi trauma yang mencakar sejarah dan gerakan Kartini di era
sebelumnya oleh kedahsyatan dan keterbatasan yang dilakukan manusia pada hari
ini.
Membaca ulang sejarah dan menyelami pemikiran
feminis dari definisi yang paling kuno hingga modern melalui tokoh-tokoh
perempuan adalah langkah konkret untuk meruntuhkan cara pandang misoginis yang
masih membayang-bayangi setiap manusia. Dengan itu, semangat anti misoginis
dalam upaya mewujudkan ekualitas di masyarakat akan terwujud. Kehidupan dengan
segala macam kelengkapannya harus kembali belajar tentang cara menghargai
perempuan dan mencoba tidak genit untuk selalu berkomentar atas fenomena yang
menyangkut tubuh maupun pikiran perempuan. Jika mampu dilaksanakan, maka bukan
tidak mungkin kejayaan kaum Hawa tersebut akan kembali terwujud dalam
bentuk ekualitas dan kemudian, menyitir pendapat novelis Ahmad Fuadi, bahwa
sejarah bukanlah seni nostalgia. Sejarah adalah ibrah, pelajaran, yang bisa
kita tarik hingga saat ini untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik dan
tentu, mampu bermakna bagi kehidupan bermasyarakat.
#
0 Komentar