Ticker

6/recent/ticker-posts

Perempuan dalam Jeruji Patriarki


Perempuan dalam Jeruji Patriarki

Oleh : Aulia Eka Hastari 

NIM : 1205030050

Dalam ranah kenegaraan, tidak tercantum dalam undang-undang, perempuan harus berpakaian seperti apa. Aturan tentang berpakaian hanya dikembangkan oleh masyarakat setempat yang merujuk pada segala norma, termasuk norma agama. Siapapun boleh berpakaian dengan berkiblat pada segala aspek kehidupan, baik fashion, agama, adat dan kebiasaan, atau bahkan kepada suatu era atau masa di negara tertentu. Ini bukan tindakan penyelewengan, apalagi pelanggaran peraturan. Perempuan boleh memakai dress yang menyingkap sebagian atau seluruh kaki bagian atasnya. Jika dihubungkan dengan segala kepercayaan ber-Tuhan yang ada pada masyarakat, maka tindakan perempuan yang seperti ini dianggap ‘melanggar peraturan’. Tetapi terkadang perempuan hanya dianggap ‘melanggar peraturan’, tanpa mengaitkan dengan peraturan mana yang berlaku, seolah pakaian terbuka seperti memang sudah dianggap ‘melanggar peraturan’, entah peraturan yang mana dan darimana, mungkin satu tempat di antah-berantah yang di-kambing hitam kan.

Pakaian terbuka selalu dikaitkan dengan kasus pelecehan. Hal ini yang menyebabkan masyarakat percaya pada sebuah aturan tidak tertulis yang mengatur bagaimana cara perempuan berpakaian. Ketika mendengar tentang kasus pelecehan, pada umumnya masyarakat lebih ingin tahu pakaian seperti apa yang digunakan korban saat mengalami pelecehan dibanding motif pelaku melakukannya.

Tidak jarang, korbanlah yang kemudian disalahkan dan dianggap mengundang nafsu para pelaku, yang kemudian tindakan ini disebut sebagai Victim blaming . Victim blaming adalah tindakan atau anggapan bahwa korbanlah yang memicu terjadinya pelecehan, mirisnya kerap kali anggapan ini dilontarkan dari sesama kaum perempuan. Pakaian korban dianggap menyingkap sebagian atau bagian tubuh perempuan yang kemudian dianggap mengundang pelaku melakukan pelecehan. Stigma ini yang melahirkan kepercayaan di lingkungan masyarakat bahwa perempuan harus selalu tertutup dalam berpakaian. Tetapi jika diteliti dan dicari lebih dalam lagi, kasus pelecehan tidak hanya terjadi dan menimpa pada perempuan dengan pakaian terbuka, tetapi pada banyak perempuan yang bahkan sudah bercadar.

Pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan, akan menimbulkan trauma. Baik trauma fisik (jika terdapat kontak fisik dengan pelaku) ataupun trauma mental. Baik trauma fisik maupun trauma mental, sama-sama berdampak buruk pada korban jika tidak ditangani atau dibirkan begitu saja. Dewasa ini, para aktivis perempuan semakin sering menggaungkan tentang pentingnya speak up atau berterus terang. Para aktivis membujuk korban melalui tulisan-tulisan di media sosial, untuk speak up kepada orang terdekat yang dapat dipercaya, layanan konseling, atau bahkan pihak berwajib. Hal ini semakin sering digaungkan karena korban pelecehan pada umumnya takut untuk berterus terang, para korban merasa bahwa apa yang dialaminya adalah aib dan siapapun tidak boleh tahu.

Entah sejak kapan budaya berpakaian terbuka dikaitkan dengan kasus pelecehan, apalagi dihubungkan dengan perempuan tidak boleh keluar malam, bagaimana mungkin satu dengan lain hal yang berbeda, yang sama sekali tidak berkaitan, kemudian dikaitkan menjadi sebuah sebab-akibat. Ini adalah patriarki, sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi serta mengeksploitasi kaum perempuan. Struktur sosial ini, mengatur perempuan dan laki-laki tentang tugas dan peran bawaan dari gendernya masing-masing. Seperti laki-laki adalah kepala rumah tangga, laki-laki harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam ranah keluarga, laki-laki harus superior karena perempuan kelak akan selalu bergantung padanya. Sangat disayangkan ketika budaya patriarki ini seolah men-generalisasi hakikat pada diri perempuan dan laki-laki.

Sistem patriarki dimulai ketika manusia mulai mengenal kepemilikan pribadi, di mana sistem kepemilikan ini juga menandai lahirnya sistem kelas. Kelahiran sistem patriarki tersebut, membuat perempuan tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik dan bekerja sesuai keinginan laki-laki. Hal ini menjadi akar dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kemunculan sistem patriarki menjadikan perempuan sebagai makhluk pengabdi saja. Perempuan menjadi budak dari keserakahan laki-laki, dan menjadi mesin pembuat anak-anak belaka.

Selain itu, marginalisasi perempuan dalam sistem patriarki diperparah dengan anggapan bahwa segala hal yang dilakukan perempuan dalam ranah domestik bukanlah sesuatu yang perlu dihargai dan diperhitungkan. Anggapan ini menggiring opini bahwa perempuan rumah tangga yang mengurus segala bentuk pekerjaan rumah, yang siang-malam tidak pernah berhenti bekerja, tidak dianggap bekerja oleh kaum laki-laki dan bahkan oleh kaum perempuan sendiri. Karena bekerja baru dikatakan bekerja ketika menyangkut proses produksi dan menghasilkan nilai-nilai ekonomi, yang kemudian membantu untuk turut menunjang perekonomian keluarga.

Patriarki tidak mengenal kesetaraan, budaya ini sangat mengintimidasi hak-hak perempuan. Dalam pendidikan, bagi kaum perempuan pendidikan sudah tidak perlu didebatkan, perempuan berhak memiliki pendidikan setinggi-tingginya, meski pada akhirnya seorang perempuan akan menjadi bagian dari sebuah keluarga kemudian mengurus rumah tangga. Pendidikan bukanlah sebuah kewajiban, melainkan hak dasar perempuan. Memiliki pendidikan tinggi, bukan setelahnya harus menjadi menteri. Pekerjaan selanjutnya adalah sepenuhnya pilihan perempuan, menjadi ibu rumah tangga kemudian menjadi bagian dari masyarakat biasa, tidak ada kaitannya dengan latar belakang pendidikan. Dalam sebuah penelitian, diungkapkan bahwa kecerdasan seorang anak  menurun dari seorang ibu. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Maka dari itu, perempuan harus memiliki intelektual yang tinggi. Latar belakang Pendidikan seorang ibu mempengaruhi tingkat intelektualnya.

Mengapa budaya patriarki sulit dihilangkan? Karena dalam lingkup terkecil dalam kehidupan, yaitu keluarga sudah menanamkan budaya ini sejak kecil. Anak laki-laki dibesarkan untuk menjadi anak yang superior dan diberi hak istimewa untuk tidak membantu pekerjaan rumah yang diselesaikan ibunya. Sedangkan anak perempuan dibesarkan untuk menjadi anak yang turut menyelesaikan pekerjaan rumah, membantu ibu mencuci piring, mencuci baju, dan segala jenis pekerjaan rumah lainnya yang tidak terhitung sebagai pekerjaan menurut budaya patriarki ini. Anak-anak yang dibesarkan dengan budaya seperti ini, ketika terjun ke lingkup yang lebih luas lagi yaitu lingkungan masyarakat, akan memperlakukan orang sebagaimana ia diperlakukan di dalam keluarganya. Menganggap bahwa hakikat perempuan adalah di rumah, melayani suami, menyelesaikan pekerjaan rumah, dan perannya hanya sebatas produsen anak. 

Budaya ini sudah mengakar dalam segala aspek kehidupan, dan dianggap sebagai hal yang normal dan wajar. Melawan patriarki sama saja dengan melawan peraturan tidak tertulis yang dipercaya oleh sebagian besar masyarakat.

Posting Komentar

0 Komentar