Ticker

6/recent/ticker-posts

Proses Akulturasi Islam dan Budaya Jawa

Oleh Farsya Aghnia Kh 

A. Proses Akulturasi Islam dan Budaya Jawa

Masuknya islam di Jawa tidak membentuk komunitas baru yang berbeda dari masyarakat sebelumnya Islam justru mencoba untuk masuk kedalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami. 

Contohnya dalam pementasan wayang. Wayang sering disimbolkan perjalanan hidup manusia dalam menghadapi Tuhannya. Lakon-lakon yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran yang syari’at untuk membawa penonton dalam nuansa religius. Oleh karena itu wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang dipersonifikasikan sebagai Tuhan yang dapat memainkan peran dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara ortodoks sebagai diskripsi puitis mengenai takdir.

Karakteristik yang menonjol dari budaya Jawa adalah keraton sentris yang masih lengket dengan tradisi animisme-dinamisme. Di samping itu, ciri yang menonjol lain dari budaya Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi konkrit. Karena yang ada hanya bahasa simbolik, maka segala sesuatunya tidak jelas sebab pemaknaan simbol-simbol tersebut bersifat interpretatif. Di samping itu, tampilan keagamaan yang tampak dipermukaan adalah pemahaman keagamaan yang bercorak mistis.

Lahirnya berbagai ritual yang memiliki nilai produk budaya lokal namun memiliki muatan material yang bernuansa religius islam adalah sesuatu yang wajar dan sah. Syaratnya, akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama. Islam sebagai salah satu agama yang hadir di Jawa juga terlibat dalam pergumulan dengan budaya lokal Jawa, oleh karenanya tampilan Islam di Jawa memiliki tampilan yang berbeda dengan tampilan di daerah lain.

Dalam proses penyebaran Islam di jawa menggunakan dua pendekatan, yaitu islamisasi kultur jawa dan jawanisasi islam. Islamisasi kultur jawa yaitu proses pemasukan unsur-unsur islam dalam budaya Jawa baik secara formal maupun substansial. Pendekatan yang kedua yaitu jawanisasi Islam. Jawanisasi Islam yaitu pemasukkan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam.

Melalui pendekatan yang pertama atau islamisasi jawa, budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun substansial. Hal ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan peran tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai pada penerapan hukum-hukum, norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan.

Sebagai contoh yaitu upacara dugderan yang diadakan masyarakat semarang. Upacara ini merupakan upacara bernuansa Islami yang diadakan setiap satu hari menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. Kata “dugder” diambil dari perpaduan bunyi bedug “dug” dan bunyi meriam “der”. Acara ini berlangsung disekitar masjid kauman. Ciri khas dalam upacara ini yaitu ditampilkannya warak ngendok, sejenis binatang rekaan bertubuh kambing dan berkepala naga, berkulit seperti bersisik dan dibuat dari kertas warna-warni.

Sedangkan dalam pendekatan yang kedua merupakan upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya Jawa. Melalui cara pertama, islamisasi dimulai  dari aspek formal terlebih dahulu sehingga simbol keislaman nampak secara nyata dalam budaya  Jawa. Sedangkan pada cara kedua, meskipun istilah-istilah dan nama-nama Jawa tetap dipakai,  tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai-nilai Islam sehingga Islam men-Jawa. 

Bodo Kupat merupakan salah satu ibtida’ jawanisasi islam. Bodo kupat merupakan wujud kesadaran manusia yang memiliki banyak dosa. Dalam bodo kupat makanan berbentuk kupat dan  lepet. Kupat berasal dari kata kulo lepat (aku bersalah) dan lepet berarti lepat nutup  rapet (menutup kesalahan dengan sungguh-sungguh). Dua makanan itu dibungkus dengan  janur/ja’a nurun (telah datang cahaya islam) yang di rebus lama. Demikian sebagai wujud bahwa  orang bersalah itu harus dipanasi lama agar matang dan hilang dosanya. 

B. Interelasi Islam dan Budaya Jawa dalam Aspek Kepercayaan

Islam masuk ke Jawa pada waktu hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam keadaan mundur. Sebelum Islam datang, agama Hindu, Budha dan kepercayaan asli yang berdasarkan  animisme dan dinamisme telah menjadi keyakinan yang dipercaya dikalangan masyarakat Jawa.  Oleh karena itu, setelah Islam datang terjadi pergumulan yang akhirnya muncul dua kelompok  dalam menerima Islam. Pertama, yaitu kelompok yang menerima Islam secara total dan mereka  yang menerima Islam, tetapi belum melupakan ajaran kepercayaan lama. Oleh karena itu,  mereka mencampuradukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaan lama. 

Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah sering menjadi tidak murni karena tercampur dengan penuhanan terhadap benda keramat,  baik benda mati maupun benda hidup. Keramat disini bukan sekedar mulia, terhormat, tetapi  memiliki daya magis sebagai sesuatu yang sakral bersifat illahiyah. Dalam tradisi Jawa terdapat  berbagai jenis barang yang dikeramatkan. Ada yang disebut azimat, pusaka, dalam bentuk tombak,  keris, ikat kepala, cincin, dll. Manusia, hewan, dan tumbuhan tertentu dipandang sebagai suci,  keramat, dan bertuah. Begitu juga kuburan apun petilasan, hari-hari tertentu dipandang membawa  barokah ataupun kesialan. Barang, benda, atau orang keramat tersebut dipandang sebagai  penghubung (wasilah) dengan Allah. Oleh karena itu, bacan doa-doa tertentu berubah menjadi  mantra, ayat suci al-Qur’an atau hurut Arab menjadi rujahan yang diyakini memiliki nilai yang  sangat berarti, bukan dari makna yang terkandung dalam ayat tersebut melainkan dari daya  gaibnya. 

Sikap yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, di satu sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisasi dan pencampuradukan antara  Islam di satu sisi dan dengan kepercayaan lama dipihak lain, sehingga sulit dibedakan mana yang  benar-benar ajaran Islam dan mana yang berasal dari tradisi. Namun aspek positifnya, ajaran yang  disinkretiskan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam  menerima Islam sebagai agama mereka yang baru. Dan sebaliknya, ajaran tersebut telah  memudahkan pihak Islam pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa,  sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat  Jawa.

C. Interelasi Islam dan Budaya Jawa dalam Aspek Ritual

Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan ritualistik tertentu.  Kegiatan yang dimaksud yaitu sebagaimana dalam rukum iman, yakni syahadat, shalat, puasa,  zakat, dan haji. Khusus untuk shalat dan puasa selain shalat wajib dan puasa wajib bulan ramadhan  juga terdapat shalat dan puasa sunnah. Kehidupan orang jawa penuh dengan upacara-upacara.  

Secara luwes Islam memberi warna baru dalam pelaksanaan upacara tersebut dengan sebutan kenduren atau slametan. Inti dari kegiatan tersebut yaitu pembacaan doa yang dipimpin  oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam, apakah seorang modin, kaum,  lebe, atau kiai. Ada berbagai jenis upacara, antara lain: 

  1. Upacara sunatan, dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Untuk batasan usia pelaksaan sunatan tidak ada ketentuan. Upacara ini sebagai bentuk perwujudan secara nyata pelaksaan  hukum Islam 
  2. Upacara perkawinan, upacara ini ditandai dengan pelaksanaan syari’at Islam yaitu aqad nikah (ijab qabul). Slametan dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu sebelum aqad nikah, pada saat  aqad nikah, dan sesudah aqad nikah. 
  3. Upacara kematian, setelah penguburan diadakan slametan mitung dina (tujuh hari). Slametan juga dilakukan pada saat kematian sudah mencapai 40 hari (matang puluh). 100 hari (nyatus), satu  tahun (mendak sepisan), dua tahun (mendhak pindo), dan tiga tahun (nyewu). Upacara ini  dimaksudkan untuk mengirim doa dengan bacaan tasybih, tahmid, takbir, tahlil, dan shalawat Nabi  yang biasa disebut tahlilan. 

Contoh lain yaitu sesajen. Sesajen dahulu merupakan tradisi yang dianut nenek moyang ketika  beragama Hindu-Budha. Pada zaman Walisongo ditransformasikan menjadi tradisi selametan. Bila sesajen dimaknai sebagai persembahan makanan untuk roh-roh gaib, maka tradisi selametan tidak demikian. Makanan dalam Tradisi selametan diberikan pada orang-orang yang mengikuti ritualtersebut untuk kemudian diminta mendoakan pihak yang menyelenggarakan.

Dalam perkembangan Islam di Indonesia, ada dua aliran utama yaitu aliran hikmah dan aliran  kejawen. Aliran hikmah berkembangan di kalangan pesantren dengan ciri khas doa/mantra yang murni berbahasa Arab (kebanyakan bersumber dari al-Qur’an). Sedangkan aliran kejawen sebetulnya sudah tidak ada lagi, melainkan sudah bercampur dengan tradisi Islam. Mantranya pun kebanyakan diawali dengan basmalah kemudian dilanjutkan dengan mantra Jawa. Budaya masyarakat Jawa sebelum Islam datang menyukai kegiatan mistik dan melakukan ritual untuk mendapatkan kemampuan supranatural. Ketika para pengembang Islam di pulau Jawa (walisongo) tidak menolak tradisi Jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagai senjata dakwah agar mudah diterima.

Posting Komentar

0 Komentar