Ticker

6/recent/ticker-posts

GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA


Perempuan, sebagai individu maupun secara kolektif dari jenis kelaminnya adalah bagian yang tak terpisahkan dari kolektif social : masyarakat. Tak terpisahkan, karena tanpa perempuan maka tidak ada peradaban manusia. Seperti halnya yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer, “perempuan adalah lautan kehidupan, maka hormatilah ia”. Apa yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer merupakan himbauan untuk menghargai perempuan, diatas kenyataan bahwa perempuan tidak berada dalam posisi setara, sebagai manusia, dengan manusia lainnya.

Soekarno dalam bukunya Sarinah mengatakan : “bahwa soal wanita adalah soal masyarakat. Sayang sekali masalah wanita itu belum pernah dipelajari dengan sungguh-sungguh oleh pergerakan kita. Kita tidak dapat menyusun negara dan menyusun masyarakat. Jika kita tidak mengerti wanita” . demikian penting soal wanita ini menjadi bahan bagi penyususnan masayarakat dan negara, sehingga pemahaman atas persoalan perempuan menjadi salah satu pijakan dalam membangun gerakan perempuan.

Gerakan Perempuan Pada Masa Pra Kemerdekaan dan Orde Lama.

Ketika pra kemerdekaan, gerakan perempuan di Indonesia ditandai dengan munculnya beberapa tokoh perempuan yang rata-rata berasal dari kalangan atas, seperti : Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien dan lain-lain.

Emansipasi perempuan Indonesia merupkan gerak social yang menjadi penunjang dan sekaligus bagian yang ikut menetukan dalam priode kebangkitan nasional pada sekitar awal abad 20. Ia bukan terbatas pada usaha mendapatkan hak-hak sederajat dengan pria sebagaimana yang terjadi di Eropa pada kurun waktu yang hamper bersamaan. Semangat ini yang mendorong Dewi Sartika mendirikan sekolah pertama pada tanggal 16 Januari 1904. Delapan tahun kemudian berubah menjadi sekolah Kutamaan Istri dan meluas menjadi 9 sekolah yang focus memberikan perhatian pada anak-anak perempuan biasa. Sementara itu ide Kartini dilanjutkan oleh C. Th. Van Deventer beserta istrinya mendirikan sekolah Kartini pada 1913 di Semarang.

Di kalangan organisasi islam, seperti muhammadiyyyah, pada tahun 1917 di Yogyakarta membentuk Aisyiyah yang menyelenggarakan sekolah berkurikilum modern bagi anak-anak perempuan dengan tekana Pendidikan agama. Sedangkan di Padang Panjang, Rahma El Indonesia, pada tahun 1922 mendirikan pesantren perempuan yang diberi nama Dinijah Poetri. Dukungan dari para lelaki yang aktif di pergerakan nasional menjadi penting, terutama menghadapi tantangan dari kalangan konservatif di kalangan bumi putera yang tidak melihat perlunya perempuan berkumpul, bertukar pikiran, menyatakan pendapat dan bekerja untuk masyarakat. Surat kabar perempuan pertama, Poetri Hindia yang diterbitkan oleh jurnalis R.M Tirtho Adhi Soeryo di Bandung pada tahun 1909, masih dipimpin oleh laki-laki. Baru tiga tahun kemudian, Roehana Koeddoes menerbitkan Soenting Melajoe ( Bukittinggi ) yang sepenuhnya dikelola oleh perempuan. Dalam kurun waktu 15 tahun organisasi-organisasi lain pun berdiri di berbagai kota dengan kegiatan, antara lain : menyelenggarakan Pendidikan dan layana kesejahteraan social bagi perempuan, memberi beasiswa kepada anak-anak perempuan berbakat, menyebarkan informasi tentang Pendidikan, dan menerbitkan surat kabar mingguan untuk menyebarluaskan gagasan tentang kemajuan dan keadaban perempuan.

Kongres Perempuan Indonesia I di Jakarta 1928 dan II di Yogyakarta 1935 berulangkali menekankn pandangan tentang pentingnya keutuhan rumah tangga dengan perkawinan yang bahagia. Pada Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung, tepatnya ada tanggal 22 Desember 1938 yang kemudian ditetapkan Hari Ibu. Muncullah semboyan “ Merdeka Melaksanakan Dharma” yakni menekankan pentingnya tugas perempuan sebagai ibu keluarga, ibu masayarakat dan ibu bangsa.

Pada masa orde lama ini, akses perempuan untuk berorganisasi sangat kuat, karena ada keinginan dari Soekarno agar perempuan Bersama bergerak mempertahankan kemerdekaan dan turut membebaskan Irian Barat.

Gerakan Perempuan Masa Orde Baru

Penumpasan yang dilakukan oleh Soeharto terhadap kelompok kiri dan revolusioner yang kemudian seringkali disebut sebagai tragedy kemanuasiaan terbesar dalam sejarah Indonesia, merupakan awal dari sejarah kelam gerakan perempuan. Sejarah pun mengalami distorsi, dimana kaum perempuan yang tergabung dalam gerakan perempuan khususnya gerwani dianggap sebagai perempuan tanpa rasa perikemanusiaan dan menumpas habis gerakan ini. Inilah titik balik gerakan perempuan, dimana pasca itu gerakan perempuan direduksi dan hanya menjadi alat pelanggeng kekuasan Soeharto. Lewat wadah PKK dan Dharma Wanita, wadah-wadah perempuan ini menjadi alat mobilisasi kaum perempuan dalam pembangunanisme. Dengan kepandaian memutar balikan Bahasa,  orde baru menyebutnya dengan penghilangan peran perempuan dalam dunia polotik ini sebagai “ normalisasi” posisi perempuan.

Gerakan perempuan di masa rejim otoriterbaru munculsebagai hasil dari interaksi anatara faktor-faktor politik mikro dan makro. Factor-faktor makro berhubungan polotik yang berhubungan dengan politik gender dan proses demokrasi yang semakin menguat tahun 80-an. Sedangkar factor politik mikro berhubungan dengan wacana perempuan yang mengkerangkeng persfektif gerakan perempuan pada masa pemerintahan orde baru.

Walaupun telah berdiri organisasi-organisasi seperti Idhats ( Ikatan Dharma Wanita ) akan tetapi fungsi organ tersebut hanya sebagai perkumpulan para perempuan-perempuan atau istri kepala desa, lurah, polisi serta pejabat. Wilayah garapannya pun hanya pada masalah keperempuannya yang sifatnya domestic. Tidak pernah sekalipun menyoroti masalah social atau masalah politik.

Orde baru menginstruksikan ebuah ideologi gender yang mendasar pada diri ibuisme, sebuah paham yang melihat kegiatan partisipasi perempuan dalam politik sebagai tak layak. Politik gender ini termanifestasikan dalam dokumen-dokumen negara, seperti GBHN, UU Perkawinan No. I/1974 dan Pnaca Dharma Wanita. Dibawah rejim otoriter, implikasi politik gender ini ternyata sangat jauh, tidak sekedar mendomestifikasi perempuan, pemisahan dan depolitisasi perempuan, tetapi juga telah menggunakan tubuh perempuan  sebagai instrument-instrumentuntk tujuan ekonomi politik.  Ini napak pada program KB yang dipaksakan untuk hanya perempuan dengan ongkos tinggi, yang khusunya dirasakan oleh kalangan perempuan bawah di pedesaan. Ringkasnya politik gender orde baru telah berhasil membawa perempuan Indonesia sebagai kelompok hemogeny apolitis dan mendukung peraturan otoritarian.

Gerakan perempuan reformasi sampai sekarang

Disaat terindentifikasi bahwa banyak perempuan yang mengalami pemerkosaan pada peristiwa Mei 1998, sejumlah perempuan mendatangi presiden baru yakni B.J Habiebie untuk menyampaikan bahwa negara harus bertanggungjawab terhadap kekerasan pada perempuan yang berlangsung Mei 1998 tersebut. Dari kunjungan tersebut berdirilah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ( KOMNAS Perempuan ) dengan mendate utama dari presiden adalah menciptakan situasi yang kondusif untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Pada masa reformasi (1998) sentralnya pada masa kepemimpina Gus Dur sampai sekarang, banyak munculnya LSM-LSM dan PSW ( Pusat Studi Wanita ), PSG ( Pusat Studi Gender ) yang diberi hak penuh untuk berkreasi dan mengeluarkan pendapat, terutama bagi organisasi pempepuan yang selama ini hak bicara dan hak berpolitiknya dipasung.

Di era reformasi ini mereka melakukan konsolidasi dan melandingkan berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( PKDRT ) ditahun 2004, mendesakkan kebijakan Instruksi Presiden ( Inpres ) No.9 tahun 2000 Pengharusutamaan Gender dalam pembnagunan yang hendak mewujudkan bahwa semua departemen pemerintah, termasuk birokrasi didaerah harus memberlakukan pengharusutaman gender dengan penekannannya pada penguatan rogram institusi. Organisasi-organisasi tersebut misalnya Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga ( PEKKA ), Migrant Care, KAPAL perempuan, SERUNI ( Serikat Perempuan Indonesia ). Organisasi perempuan juga tumbuh subur dikalangan Islam , antara lain : Rahima, Fahmina, Lembaga Kajian Islam dan Sosial ( LIKS). Organisasi-organisasi yang tumbuh subur seperti : SAPA Institut dan Institut Perempuan di Bandung. Legal Research Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRCKJHAM) di Semarang, Nurani Perempuan di Padang, Sumatra Barat, Duek Pakar Inong Aceh ( DPIA) dan Inong Bale di Aceh, Suara  Parangpuan di Bone, Sulawesi Utara dan Lembaga Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores ( TRUK-F) dan lainnya.

Posting Komentar

0 Komentar