Oleh : Ihsan Maulana Ibrahim (Anggota PMII Rayon Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Cabang Kota Bandung)
Banyak orang yang masih sibuk bertanya, dan
bahkan saling memperdebatkan beberapa argumen yang bisa dibangun dari
interpretasi pribadi. Isu feminisme memang tidak habis-habisnya
diperbincangkan. Tapi sesungguhnya, sudahkah kita bersepakat koridor feminisme
yang diperdebatkan?
Bahwa feminisme tidak sama dengan emansipasi,
kita harus bisa memahami hal tersebut. Jika emansipasi diterjemahkan sebagai
pandangan yang mengusung peran serta wanita diruang publik. Maka seeungguhnya
feminisme lebih dari itu. Apa yang diperkenalkan oleh Charles fourier; aktivis
sosialis utopis pada tahun 1837 mengenai feminisme adalah suatu bentuk
emansipasi secara radikal. Dengan latar belakang kejenuhan akan nasib kaum
wanita di barat, feminisme lahir dan mendukung persamaan mutlak hak serta
kewajiban antara laki laki dan perempuan di berbagai bidang, Mulai dari sosial,
politik, hingga ekonomi.
Jika feminisme disamaartikan dengan emansipasi
maka koridor itu islam sama sekali tidak mempermasalahkannya. Karna ajaran yang
dibawa islam sama sekali tidak merendahkan martabat wanita. Islam juga tidak
datang untuk mengungkung dan memenjaraka mereka dalam sel-sel penjara imajiner
diluar batas manusia.
Islam justru memuliakan mereka. Menempatkan
mereka sewajarnya manusia bukab barang dagangan, apalagi binatang. Islam juga
mendorong mereka untuk ikut berpartisipasi dalam lingkup publik yang lebih luas
seperti halnya laki-laki. Bandingkan dengan peradaban-peradaban lain di masa
lalu,. Romawi menempatkan wanita ibarat barang. Kepemilikan atas hak
kehidupannya dimiliki seutuhnya oleh ayah mereka. Kebudayaan China dan Hindu
pun tidak lebih baik daripada itu. Hak kehidupan mereka dimiliki selagi
suaminya masih hidup. Saat suaminya meninggal, maka ia juga tak memiliki hak
untuk hidup.
Ajaran islam tidak seperti itu. Al-qur’an
sebagai landasan berfikir dan bertindak dalam agama islam justru melegitimasi
eksistensi keberadaa wanita. Wanita diberikan porsi hak, kewajiban serta hukum
yang sama dengan laki-laki. Dalam salah satu ayat, Tuhan menyampaikan
pesan bahwa ganjaran kebaikan yang
diterima wanita sama persis dengan ganjara yang laki-laki terima dalam
mengamalkan kebaikan. Islam memberikan ruang lingkungan dan sosial yang layak
bagi perempuan. Tidak seperti kebudayaan elite Yunani. Yang mengharuskan wanita
berada didalam istana. Islam memberikan ruang bagi wanita untuk keluar dan
berinteraksi. Namun dengan beberapa catatan yang memang harus dipertimbangkan
demi kemaslahatan bersama.
Wanita juga mendapatkan kebebasan untuk ikut
andil dalam menjalankan perputaran ekonomi. Mereka memiliki hak untuk mengatur
perdagangan seperti halnya kaum laki-laki. Bukankah apa yang dilakukan Sayyidah
Khadijah semasa hidupnya adalah sebuah dalih bagaimana bebasnya wanita megatur
ekonominya?
Islam juga memberikan ruang gerak wanita untuk
berpatisipasi dalam ruang publik. Sudah menjadi maklum bahwasannya Sayyidah
Aisyah istri nabi yang paling muda merupakan salah seorang perawi hadis yang
terkenal. Ia mendapatkan ruang publik untuk berherak bebas dalam ke ilmuan.
Apa yang dilakukan oleh Khadijah dan Aisyah
yang notabene keduanya disebut-sebut sebagai ummahatul-mu’minin (ibu dari
orang-orang yang beriman) adalah sebuah bukti bahwa ajaran islam mengakui dan
menghormati eksistensi serta peran wanita dalam berbagai hal kehidupan. Entah
itu ruang privasi maupun ruang publik.
Sudah menjadi rahasiah umum, salah satu dasar
pemikiran feminisme adalah pandangan bahwa peran dan tanggung jawab yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan didasarkan atas nama budaya. Memang,
dalam ilmu ushul fiqh dikenal salah satu kaidah, al-adalah muhakkamah. Bahwa
salah satu adat istiadat dapat menjadi landasan legitimasi suatu hukum dalam
agama islam. Namun ia tidak semerta-merta mutlak. Ia memiliki batasan-batasan
berdasarkan aturan ketetapan tuhan. Batasan-batasan inilah yang kontradiktif
dengan tuntutan kesetaraan 50 berbanding 50 ala feminis. Tuhan sudah menetapkan
wanita dengan kodratinya sebagai wanita. Fisik dan psikologinya jelas berbeda
dengan laki-laki.
Wanita mengalami fase mengandng, melahirkan,
dan menyusui yang tidak mungkin dialami oleh laki-laki. Keedua fase tersebut
dan mungkin ditambah dengan beberapa faktor lain membuat mereka mendapat porsi
hukum berbeda denga laki-laki. Didalam masalah ibadah, jelas sekali mereka
mendapat dispesasi untuk tidak menjalankan ibadah semacam shalat dan puasa saat
merka mengalami masa haid. Kemudian ada ketetapan-ketetapan lain dalam hukum
islam yang kerap dituntut oleh para feminisme, sebenarnya mengandung hikmah
yang mendalam dalam hukum tersebut. Dalam pembagian harta waris misalkan,
feminisme memandang ajaran islam sebagai ajaran yang tidak adil. Seorang
laki-laki yang mendapat bagian dua kali lipat dari wanita adalah sebuah
kesetaraan yang harus diubah begitu saja. Padahal kalau dikaji lebih mendalam,
terdapat hikmah yang sebenarnya sangat sederhana. Laki-laki mendapat dua kali
lipat dari wanita karena laki-laki memiliki tanggung jawab untuk menafkahi
istri dan anaknya. Berbeda dengan wanita, harta yanng ia miliki benar-benar
milik ia sendiri. Ia tidak memiliki tanggung jawab menafkahi orang lain.
Perbedaan yang terjadi antara laki-laki dan
perempuan bukanlah suatu dimensi intimidasi yang berlaku satu sama lainnya,
namun justru bentuk keadilan tuhan adalah pertimbangannnya. Ketika setiap
perangkat mampu ditempatkan sesai dengan porsinya, maka itulah keadilan. Konsep
keadilan didalam islam itu sendiri iala bukan semata-mata sama rasa, namun
lebih kepada menempatkan sesuatu sesuai dengan koridor fitrah nya
masing-masing. Karna pada kenyataannya baik laki-laki maupun perempuan tetap
mulia dengan ciri khas yang dimilikinya.
0 Komentar